Kupas Tuntas Hukum Musik dan Nyanyian (Pendapat yang Membolehkan serta Hukum Nasyid dan Rebana) – Pada artikel sebelumnya kita sudah mengetahui beberapa dalil serta pendapat empat imam madzhab yang semuanya mengarahkan pada satu kesimpulan, bahwa musik dan nyanyian hukumnya haram.
Namun sahabat, tidak bisa kita pungkiri juga bahwa ada beberapa ulama terutama ulama-ulama kontemporer yang berfatwa bahwa musik dan nyanyian hukumnya halal (boleh selama tidak mengandung unsur kemaksiatan). Di antara ulama-ulama yang membolehkan adalah Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Yusuf Qardhawi, al-Ghazali, dll.
"Musik Itu Halal Kok!" via MuslimBaper.web.id
Ketahulah sahabat, bahwa semua ulama yang ada sekarang dimana mereka membolehkan musik dan nyanyian, mereka mengikuti dan meneruskan pendapat seorang imam madzhab Dzahiriyah, yaitu Imam Ibnu Hazm.
Ibnu Hazm yang Pertama Kali Membolehkan Musik dan Nyanyian
Pendapat Ibnu Hazm merupakan akar dari semua pendapat yang membolehkan musik. Oleh karena itu, jika kita kaji pendapatnya Ibnu Hazm, maka insyaaAllah kita akan tahu mana yang benar dan yang salah.
Ibnu Hazm mengatakan bolehnya musik, karena beliau berpendapat bahwa hadits-hadits tentang periwayatan musik tidak bisa diterima.
Hadits yang Dikeluarkan Imam Bukhari Cacat!
Dalam kitab Al-Muhalla, Ibnu Hazm menyebutkan bahwa hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari (hadits yang pertama di artikel sebelumnya) tidak bisa diterima karena beliau berpendapat bahwa ada keterputusan sanad antara Imam Bukhari dengan gurunya Hisyam.
Bantahan :
Pendapat Ibnu Hazm ini dibantah oleh Ibnu al-Qayyim dalam Ighatsatul Lahfaan serta dalam Tahdzibus Sunan, dengan rincian :
1. Imam Bukhari sudah berjumpa dengan Hisyam dan mendengar hadits darinya. Jika beliau berkata : “Hisyam berkata,” itu sama nilainya dengan ucapan beliau : “Dari Hisyam…” menurut kesepakatan ahli hadits.
2. Kalau Imam Bukhari tidak mendengar hadits itu dari Hisyam, beliau tidak akan menyebutkannya dengan kata tegas, kecuali bila beliau telah mengetahui dengan pasti bahwa gurunya itu memang menyampaikan hadits tersebut. Yang demikian itu terjadi, karena satu hadits memiliki jalur riwayat yang banyak dari gurunya tersebut dan sudah sedemikian masyhur. Imam Bukhari adalah orang yang paling jauh dari tuduhan sebagai manipulator hadits.
3. Imam Bukhari mencantumkan hadits itu dalam kitab beliau yang disebut “Ash-Shahih” dan beliau jadikan pula sebagai hujjah. Kalau tidak shahih hadits tersebut, beliau tidak akan mungkin melakukan itu (mamasukkannya dalam kitab Shahih Bukhari). Hadits itu tidak diragukan lagi adalah hadits shahih!
4. Imam Bukhari menyebutkan hadits itu secara muallaq dengan ungkapan tegas, bukan dengan ungkapan yang tidak tegas. Jika hadits itu masih diragukan atau tidak memenuhi persyaratan beliau, maka pasti beliau sebutkan : “Diriwayatkan dari Rasulullah..” atau “Fulan mengatakan…” Namun beliau meriwayatkan dengan tegas dan memastikan penisbatan hadits tersebut kepada Rasulullah. Di sini beliau menegaskan penisbatan hadits itu kepada Hisyam, berarti hadits itu menurut beliau adalah shahih.
5. Kalau kita tolak hadits beliau itu, maka kita katakan, “Hadits ini shahih dan bersambung sanadnya dalam riwayat selain Imam Bukhari.”
Dari penjelasan Ibnu al-Qayyim tersebut, dapat kita simpulkan bahwa pendapat Ibnu Hazm yang tidak mau menerima hadits-hadits periwayatan musik adalah bathil (tidak benar).
Buktinya juga, banyak ulama-ulama ahli hadits yang menerima hadits-hadits periwayatan musik dan menshahihkannya, di antaranya : Ibnu Hibban, al-Ismail, Ibnu Shalah, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar al-Asqalani, Ibnul Wazir, as-Sakhawi, dan al-Amir.
Kesimpulan
Dengan bantahan-bantahan tersebut, maka kita simpulkan bahwa pendapat bolehnya musik dan nyayian adalah pendapat yang tidak benar. Hukum musik dan nyanyian adalah haram sebagaimana dalil-dalil yang telah disebutkan pada artikel : Kupas Tuntas Hukum Musik dan Nyanyian (Part 1)
Hukum Rebana dan Nasyid
Ada suatu hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dimana ada dua budak wanita yang memukul duff (rebana) di sisi Rasulullah. Ketika Abu Bakr hendak menghentikan mereka, Rasulullah melarangnya sembari bersabda, “Biarkan mereka berdua wahai Abu Bakr. Sesungguhnya setiap umat memilki hari raya, dan sekarang hari raya kita umat Islam.”
Dari hadits tersebut, dapat di simpulkan beberapa poin:
1. Alat musik yang dibolehkan hanyalah duff (rebana) pada waktu tertentu.
2. Waktu yang dibolehkan bermain rebana adalah ketika ‘Id, dan walimah pernikahan, serta saat datangnya orang yang beberapa waktu tidak terlihat.
3. Duff jika dimainkan selain pada waktu-waktu tersebut kembali pada hukum asal musik yaitu haram.
Lalu, bagaimana dengan nasyid?
Jika nasyid itu diiringi dengan alat-alat musik, maka meskipun memiliki lirik Islami tetap saja hukumnya haram. Nasyid insyaaAllah menjadi boleh jika hanya sekedar lantunan syairnya saja (tanpa diiringi dengan alat musik), dengan catatan syair tersebut tidak mengandung kesyirikan dan kemaksiatan, juga tidak sering dilantunkan karena dikhawatirkan bisa membuat lalai. Wallahu a’lam.
Demikian pembahasan kita tentang hukum musik dan nyanyian pada bagian yang kedua ini. Semoga Allah senantiasa memberikan hidayahnya agar kita dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.
- - - - - - -
Disempurnakan di rumah tercinta, Panggul-Trenggalek, pada 18 Syaban 1439H
Penulis : Rizki Janata
Artikel MuslimBaper.web.id mengutip dari buku Polemik Seputar Hukum Lagu dan Musik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar